Judul : ARYA PENANGSANG
Tahun pembuatan : 2004
Media : acrilyc di atas kain 85 X 62 cm
Disajikan di Empire Hotel - Brunei Darussalam 11-14 Juli 2004Konsep karya
Sejarah kehidupan masyarakat Indonesia; khususnya di Jawa yang sangat sarat dengan perjuangan, kepahlawanan, keagungan, kesengsaraan dan kebatilan. Ada semacam inter-kontra; antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kebathilan, antara kenistaan dan kebahagiaan. Dua keadaan berbeda tampil dalam sebuah konsep konflik; termasuk sikap atau perilaku sombong, angkuh, takabur dengan sikap mawasdiri, andhapasor, dan bijaksana.Pandangan beserta implikasi dari penyifatan ambigu itu merupakan bagian melekat dari tatanan & cara pandang masyarakat dan berlaku sah. Konsep inter-kontra itu berlaku sebagai parameter ber perilaku,tanpa kecuali menjadi panduan dalam bermasyarakat sejak dulu. Perlambang tentang konsep semacam itu juga digambarkan lewat penokohan wayang. Arya Penangsang merupakan tokoh satria semasa kerajaan Mataram tercatat sebagai figur yang memiliki sifat kukuh atas pendirian, sakti atau mempunyai satu kelebihan berupa kadigdayaan. Kemampuannya itu menjadikannya dia amat percaya diri dan tidak gentar berlaga di tengah medan pertempuran. Namun, di balik kelebihannya itu, sebagai insan ia pun menyandang kekurangan dan kelemahan yang berakibat kefatalan baginya. Takdir pun tidak dapat dielakan dan sejarah telah mencatatnya sebagai pejuang yang dilematis.
Ceritera itu merupakan sumber bagi saya untuk dituangkan ke dalam suatu lukisan. Karya ini menganut konsep gambar yang berpangkal dari wayang beber dengan menekankan tampilan busana Jawa berikut segala lengkapannya. Tampilan raut wajah dari samping, kekuatan goresan garis, penampakan yang condong berkesan papar, dan mengesampingkan konsep perspektif; merupakan bagian dari eksplorasi bentuk yang saya terapkan. Demikian pula pemilihan dan perpaduan warna untuk mendapatkan kesan etnik, secara sengaja merujuk pada teknik pewarnaan pada wayang beber.
Arya Penangsang merupakan tokoh satria semasa kerajaan Mataram tercatat sebagai figur yang memiliki sifat kukuh atas pendirian, sakti atau mempunyai satu kelebihan berupa kadigdayaan. Kemampuannya itu menjadikannya dia amat percaya diri dan tak gentar berlaga di tengah medan pertempuran.Namun, di balik kelebihannya itu, sebagai insan ia pun menyandang kekurangan dan kelemahan yang berakibat kefatalan baginya. Takdir pun tidak dapat dielakan dan sejarah telah mencatatnya sebagai sosok pejuang yang dilemmatis.
Atas dasar hikayat yang dipaparkan sebagai catatan sejarah tersebut, lukisan ini mencoba mengangkat salah satu epipsode yang menggambarkan adegan dari pertempuran. Ada dua sisi yang teradopsi darinya; bagaimana sosok Arya Penangsang dengan watak dan sikapnya menghadapi Sutawijaya sebagai lawannya. Sisi lain adalah suasana palagan yang digambarkan dengan merujuk konsep wayang-beber. Secara keseluruhan tampilan dari karya ini cenderung menekankan perautan bernarastif serta pewujudannya mengadopsi konsep pe-rupaan wayang beber yang menghindari adanya perspektif.
|
Cerapan mengenai sosok yang ditokohkan, suasana berikut berbagai perauutan sejamannya menjadi satuan yang dimunculkan dan menekankan pada nuansa peradatan.Paduan antara suasana peradatan dengan perupaan yang merujuk pada perupaan wayang beber adalah sumber cara garap paling utama. Selain wujud objek dan lengkapannya menekankan
Perautan yang lebih menekankan teknik perautan papar ini tanpa kecuali lebih dikuatkan pula dengan stilasi bentuk, pemanfaatan nuansa warna dengan teknik sungging, serta isian atau ornamen bersumber dari perautan wayang beber pula. Tampilan paling menonjol dari karya ini adalah berpijak pada perupaan yang condong pipih serta alur narasi searah dengan jarum jam. Pembeda dari latar depan dan latar belakang pada karya ini tidak menunjukan jarak namun datar, tetapi penguatannya lebih diutamakan pada bagian rinci atau detailnya; nampak dari busana serta lengkapan.
Matra atau dimensi yang mengiatkan kepada jarak atau ruang, tidaklah ditonjol-kan dengan cara optik, namun lebih banyak meminjam konsep ruang seperti yang biasa diterakan pada rampogan pada wayang kulit. Hal ini amat nampak pada perautan para prajurit yang ada di latar depan. Matra yang di arahkan sebagai petanda lapang, luas, alam terbuka, cenderung dikuatkan dengan se-rangkaian bintik dan juga cawen atau goresan garis-garis lembut. Goresan lembut semacam barik
Catt; Karya ini dihadiahkan kepada Consellor Muhamad Nazirwan Hafiz.MM dari Kedutaan Besar RI di Bandar Seri Begawan pada tgl 12 Juni 2004 |
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar