Judul : DUSUN BAHARI - 2004
Media : acrilyc di atas kain 200 X 80cm
Disajikan di Empire Hotel - Brunei Darussalam 11-14 Juli 2004
Konsep karya
Kehidupan sosial, terutama masyarakat yang berada di kawasan yang di kitari kepulauan cenderung memiliki keaneka ragaman adat / kebiassaan. Bagi kelompok masyarakat yang berada di Nusantara, kecenderungan tersebut amat kuat dan menjadi semacam ciri. Ciri paling dikenali adalah sebahai masyarakat bahari, masyarakat tani dengan segala bentuk kinerjanya lebih mengutamakan pada keakrabannya dengan alam. Melalui kebiasaan yang menjadi peradatan yang ditularkan secara temurun, kehidupan masyarakat bahari sangat kuat di dalam melurikan kebiasaan itu. Dari bangunan kebiasaan itu pulalah lahirnya norma-norma kinerja tanpa meninggalkan kelekatannya dengan alam yang men jadi bagian bercipta-karsa.
Laut dan seisinya, gunung berikut hutannya, makhluk hidup & juga benda lain adalah bagian dari alam makro yang melengkapi kehidupan manusia Bagi komunitas tani nelayan, alam, terutama laut menjadi sahabat paling kental bagi kepentingan kehidupannya. Segala kandungan yang terbentang di lautan luas, termasuk segala tantangan darinya; adalah bagian yang terkait. Ada hubungan melekat antara harapan dan kenyataan, antara upaya atau jerih payah dan juga apa yang dihasilkannya. Bagai sebuah lingkaran tanpa batas, sebab dan akibat; satu dinamika tata kehidupan menjadi rangkaian melekat dengan alam lingkungan.
Sebagai eksplanasi atas atas semua itu, berbagai jatu/elemen yang dapat di tuangkan ke dalam perupaan sebenarnya sangat meruah. Salah satu wujud paling kuat adalah lazuardi sebagai rentangan batas pandang (lalitude) yang mengantar matra pandang dengan teba alam nyata. Objek yang diangkat pada karya ini adalah sebuah komunitas berciri tani-nelayan. Penekanan raut (shape) adalah pemaduan antara jaturupa, pemaduan warna, pemilihan wujud yang bercirikan pelarasan alam, serta melepaskan konsep perspektif.
Landasan perupaan juga berpijak pada konsep perupaan yang bertolak dari wayang beber, dimana pesan narative dikedepankan dan tidak sekedar tekanan pada alihan utama (eyecatcher) atas objek, seperti halnya konsep seni lukis pada umumnya. Figur atau sosok dan juga suasananya dibentuk dengan pertimbangan pencitraan, nuansa, serta ciri kebaharian. Ada pertautan yang sangat laras atau harmonis diantara alam lingkungan dan insan di dalamnya. Sifat laras itu pula menjadi pesan utama dari karya lukis ini. Tebaran sampan dan hamparan laut seakan sebuah tayangan tentang alam dan penggunanya. Terjalnya tebing yang menghadang perjalanan nelayan bukanlah penghalang yang angkuh, begitu pula batas lazuardi sejauh mata memandanng itu bagai hiasan garis nan indah.
Pada bagian atas yang menjadi kawasan tanpa batas adalah langit biru nan sejuk namun penuh dengan rasa magis. Pada wilayah ini pula konsep kehidupan alam atas dianalogkan dalam pewujudan khewan bersayap. Burung dalam hal ini di wakili oleh garuda yang kukuh pada mitologi adalah sosok yang berada pada tataran alam atas tersebut. Perwatakan tentang berani, gagah, pantang menyerah serta mampu melalnglang jagad; adalah sang garuda sebagi symbolnya. Dalam kaitan itu pula, jiwa kebaharian sebenarnya membiaskan citra serupa.
Rangkaian dari hamparan alam berikut perwatakan dari komunitas masyarakat pelaut, rekayasa perupaan yang merujuk pada perlambangan pun diwujudkan pada lukisan ini. Melalui media kanvas dan pewarna akrylik, saya tuangkan konsep perupaan itu dengan penguatan pada garis dan warna sebagai bagian utamanya. Objek lukisan sebenarnya diangkat dari sebuah panorama kawasan pesisir di pantai selatan pulau Jawa. Kawasan yang lebih dikenal dengan sebutan Pelabuhan Ratu adalah salah satu model dari lingkungan bahari di Nusantara. Seperti halnya Kampung Ayer di kawasan pantai kota Brunei Darussalam. Suasana berciri dia- logis antara alam dan manusia, antara kehidupan dan harapan, antara alunan air dan kekarnya bumi, memberikan impuls sangat kuat pada rasa setiap insan.
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar