Ketika kucermati kosakarya perupa tradisi dengan ragam bentuk, fungsi, pemakaian bahan, sampai keunikannya; sungguh luar biasa. Aku amat terpesona olehnya, ingin mencari tahu, bahkan ada rasa iri kepada perupa generasi baheula yang demikian kuatnya rasa patuh mereka pada norma adati di dalam mekaryanya. Ada sesuatu yang kurasakan akrab dengannya, dan kini aku kehilangan jejak untuk mendapatkan daya kinerja seperti itu.Selintas kupikir;zaman tak perlu dipersalahkan,selera tak perlu diperdebatkan, namun semangat perlu dipersandingkan. Mungkin pikiran itu pula yang memacu diriku untuk mencoba menelusuri matra perupaan dengan sumber rujukan peradatan. Aku coba menyigi dengan pendekatan mytos, legenda, ceritera rakyat, juga sumber lexis lain termasuk sejarah dan kegiatan ritual.
Dari serangkaian literasi rujukan paling menguat kuangkat juga perautan yang di tuangkan pada tafreel candi dan wayang beber sebagai wujud ciptakarsa yang ku anggap sebagai cikal bakal seni lukis kita. Pandanganku ini mungkin saja berbantah pikir dengan yang lain, namun boleh saja itu terjadi. Saat raut gubahan muncul dengan perpaduan darinya, suatu cipta karsa yang merangkaikannya lewat kehandalan taksu, maka karya yang hadir bukanlah keterasingan lagi.Pemaduan cara garap,sumber ide, kharisma adat beserta perautan pipih dari wayang beber makin menjelaskan akan kuatnya aura adat di dalamnya. Warna, garis dan pernik isian kuanggap menjadi bagian mendasar dari kekaryaanku. Seperti halnya dengan kekuatan yang disodorkan dalam wayang beber, wayang kulit, batik, bahkan ikon religi; demikian kokoh berpijak pada norma adati. Begitulah caraku meniti, menguak perjalanan, serta menempatkan bakuan ke dalam kiat mekarya; baik di dalam menerapkan media kaca atau pun kain dan juga media lainnya.
Dari amatan itu rupanya ada semacam keterhubungan yang nyaris tanpa cacat selalu di hadirkan dalam keakraban mendalam.Apa yang kumaksudkan tidak lain adalah adanya jalinan sangat erat dari sumber yang bertolak ceritera rakyat (folklore), mytos, legenda, serta sejarah. Sumber-sumber ini pulalah kemudian menjadi dasar dari setiap karyaku, termasuk konsep garap wayang beber. Selain meminjam cara garap yang sudah berlaku lama di kalangan masyarakat, baik cara pewarnaan, cara pemindahan objek, kekuatan garis, symbol-symbol, serta gatra/perautan objeknya.
Menyadari lingkup seni dengan segala cakupannya serta matra garap yang demikian kuat merujuk pada norma, masih ada sesuatu yang tetap layak berdialog dengan daya atau dinamika zaman. Masih banyak sumber yang tan kasad mata dapat diangkat dan dituangkan dengan rekayasa kekinian. Mungkin; dari sumber semacam itu pulalah ada sesuatu yang bersifat mendasar menjadi bahan temuan yang berciri pembaruan atau bahkan modal mendasar untuk menemukan kosa-ilmu seni. Untuk menuju ke arah ini tentu diperlukan kajian mendalam, kesepakatan pemahaman, dan tindakan yang ber- inidikasi kesahihan-keabsahan-keterujian.
Berbagai pikiran yang banyak disampaikan pakar seni-budaya; saya mencoba untuk mencuplik makna substantifnya; yakni tentang jatidiri bangsa. Apa yang dapat kujabar-kan darinya diantaranya adalah mengangkat sumber-sumber atau aset budaya untuk kemudian disiratkan ke dalam kekaryaan. Apa pun pesan yang disuratkan cenderung bertolak dari khasanah yang ada dalam kekayaan budaya sendiri. Terjadinya bentuk atau perautan yang bersifat mimesis, stylasi, distorsi, atau bahkan lebih mengarah pada anomalis dan maya; tidak lain merupakan sebuah penjelajahan rupa semata. Di dalam kaitan ini, saya masih merasakan masih panjang perjalanan eksplorasi untuk menemukan citra pembaruan agar bersenafas dengan era kekinian.
Agaknya, tidak berlebihan bila kritik dan saran masih menjadi kebutuhanku; termasuk masukan berkaitan dari sumber lain yang masih tertinggal. Bukan sekedar masalah medium atau objek populer saja untuk dapat membuahkan pembaruan itu, namun ikhwal nilai serta makna filosofis berikut pencitraan kupandang sangat berperan sekali. Rupanya masih banyak pekerjaan kita yang tertunda saat kita dihadapkan pada satu tataran serba kompetitif, unggul, dan sarwa baru.
Terimakasi untuk semua kerabatku, sejawatku dan para sahabat; lewat pemikiran arif dan kinerja berikut semangat tanpa lelah. Mudah-mudahan ini bukan fatamorgana.
Surakarta akhir tahun 2009
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar